Tekanan terhadap kualitas lingkungan hidup kian meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan laporan World Air Quality Report 2024 yang dirilis oleh IQAir, sejumlah kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya mengalami lebih dari 180 hari dalam setahun dengan kualitas udara yang tergolong tidak sehat. Selain itu, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa volume timbulan sampah nasional pada 2023 mencapai 21,1 juta ton, dengan tingkat pengelolaan yang belum optimal (Sumber: dlhi.co.id).
Kondisi ini menegaskan bahwa strategi pengelolaan lingkungan perlu bergerak ke arah yang lebih adaptif dan berbasis teknologi. Dinas Lingkungan Hidup di berbagai daerah kini mulai mengadopsi pendekatan berbasis Artificial Intelligence (AI) dan Internet of Things (IoT) untuk mempercepat respon dan meningkatkan efisiensi pemantauan kondisi lingkungan secara real-time.
AI dan IoT: Pilar Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup

Revolusi digital telah mendorong berbagai instansi pemerintah untuk berinovasi, termasuk dalam pengelolaan lingkungan. Dinas Lingkungan Hidup mulai memanfaatkan AI dan IoT untuk mendeteksi, memetakan, dan merespons berbagai indikator lingkungan seperti kualitas udara, pencemaran air, kebisingan, hingga distribusi sampah secara presisi. Penggunaan teknologi ini mampu menekan waktu reaksi terhadap krisis lingkungan dan memungkinkan intervensi lebih awal sebelum dampaknya meluas.
AI dalam Pemantauan dan Analisis Lingkungan
Artificial Intelligence memegang peranan kunci dalam mengolah data lingkungan dalam skala besar. Dengan algoritma machine learning dan analisis prediktif, AI dapat mengidentifikasi pola pencemaran, memprediksi lonjakan polutan, dan memberikan saran kebijakan berbasis data. Salah satu contohnya dapat ditemukan di Kota Surabaya yang bekerja sama dengan startup lokal dalam memanfaatkan AI untuk memprediksi kenaikan volume sampah domestik harian, sehingga dinas dapat menyusun rute optimal pengangkutan dan menghindari penumpukan.
Sistem berbasis AI juga digunakan dalam pengenalan citra untuk memilah jenis sampah di pusat daur ulang secara otomatis. Teknologi ini membantu DLH meningkatkan rasio pemilahan sampah dan efisiensi proses daur ulang, yang selama ini menjadi tantangan besar dalam pengelolaan limbah perkotaan.
Peran IoT sebagai Jaringan Sensor Real-Time
Internet of Things berfungsi sebagai tulang punggung data lapangan dalam sistem pemantauan lingkungan. IoT menghubungkan berbagai perangkat sensor di lokasi strategis seperti kawasan industri, sungai, tempat pembuangan akhir, hingga ruas jalan padat lalu lintas. Data dari sensor-sensor ini dikirimkan secara berkala ke pusat kontrol Dinas Lingkungan Hidup untuk dianalisis lebih lanjut.
Di Jakarta, sistem pemantauan kualitas udara berbasis IoT—Air Quality Monitoring System (AQMS)—telah dipasang di lebih dari 10 titik. Sensor ini mengukur konsentrasi PM2.5, PM10, NO2, dan SO2, lalu mengirim data ke platform digital yang dapat diakses oleh publik. Sistem serupa juga digunakan di Kota Semarang untuk memantau kualitas air sungai dengan parameter seperti pH, suhu, dan kadar logam berat.
Contoh Implementasi di Daerah
Berbagai kota telah memanfaatkan teknologi AI dan IoT secara adaptif. Di Bandung, Dinas Lingkungan Hidup bekerja sama dengan perguruan tinggi dan sektor swasta membangun dashboard lingkungan berbasis cloud yang menampilkan kondisi udara, suara bising, serta informasi cuaca. Data ini dipakai untuk merancang kebijakan seperti pengaturan jam operasional kendaraan berat di kawasan padat.
Di Bogor, smart bin berbasis IoT telah diuji coba di beberapa titik kawasan wisata. Tempat sampah ini memiliki sensor untuk mendeteksi kapasitas terisi dan secara otomatis mengirim notifikasi ke petugas DLH. Hasilnya, efisiensi pengangkutan meningkat hingga 30% dan risiko penumpukan sampah di ruang publik bisa ditekan.
Kolaborasi Lintas Sektor dan Standarisasi Data
Implementasi teknologi dalam pengelolaan lingkungan tidak bisa berjalan sendiri. Dinas Lingkungan Hidup perlu membangun kolaborasi lintas sektor, termasuk dengan Dinas Komunikasi dan Informatika, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, dan pelaku industri teknologi. Kerja sama ini penting untuk menjamin keberlanjutan sistem, memastikan interoperabilitas perangkat, serta mendorong standarisasi data lingkungan secara nasional.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga telah mengembangkan SIMPEL (Sistem Informasi Pemantauan Lingkungan) sebagai platform integratif data lingkungan dari berbagai daerah. Inisiatif semacam ini perlu diintegrasikan dengan sistem AI dan IoT agar proses pelaporan, evaluasi, dan pengambilan keputusan menjadi lebih akurat dan responsif.
Tantangan dan Solusi
Meski manfaatnya besar, penerapan teknologi ini juga menghadapi hambatan. Permasalahan seperti keterbatasan anggaran, minimnya infrastruktur jaringan di daerah terpencil, serta kurangnya tenaga ahli digital menjadi tantangan utama. Untuk mengatasi hal ini, beberapa daerah mengajukan proposal hibah teknologi ke mitra internasional seperti GIZ Jerman dan UNDP. Selain itu, pelatihan SDM DLH dalam bidang data dan teknologi menjadi prioritas dalam peningkatan kapasitas institusi.
Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa adopsi teknologi bukan hanya soal alat, tetapi juga tentang transformasi budaya kerja dan kebijakan kelembagaan yang mendukung.
Masa Depan Pengelolaan Lingkungan yang Lebih Cerdas
Pengelolaan lingkungan hidup di era modern tidak lagi dapat mengandalkan metode manual. AI dan IoT membawa harapan baru bagi Dinas Lingkungan Hidup untuk mengelola tantangan lingkungan dengan pendekatan yang lebih presisi, efisien, dan berbasis bukti. Melalui kolaborasi lintas sektor dan dukungan kebijakan yang tepat, teknologi ini bisa menjadi tulang punggung dalam mewujudkan kota-kota yang tanggap terhadap perubahan iklim dan berkelanjutan di masa depan.